Pada zaman dahulu, ada seorang
pria Minangkabau yang merantau ke utara Pulau Sumatera. Pria tersebut menyusuri
lautan. Hari demi hari dilalui di lautan. Berbagai rintangan dilalui. Berhenti di berbagai tempat.
Hingga sampailah ia di suatu
daerah. Ia menepikan perahunya di sebuah pantai dengan ombak yang besar. Ia
merasakan bahwa tempat yang ia labuhi merupakan suatu tempat yang sangat
tempat untuk ia rantaui.
Ia mendengar gemeruhan air yang
sangat besar. Ia menyusuri pantai mencari suara gemuruhan tersebut, hingga
sampailah ia di dekat air terjun yang lumayan tinggi. Ia memutuskan untuk
membuka lahan di daerah sekitar air terjun tersebut. Ia mencari berbagai
bahan-bahan untuk membuat pondok. Ia mengelilingi hutan, menaiki gunung dan
menyusuri pandai untuk mengumpulkan kayu-kayu dan serat-serat yang bisa di
pakai.
Menjelang siang, ia mulai
kelelahan. ia berisitirahat pada sebuah batu besar di dekat air terjun. Ia
berbaring di di batu tersebut. Tidak lama berbaring, ia tertidur di batu
tersebut.
Di tengah terlelapnya tidur, ia
tiba-tiba terbangun. Ia mendengar seorang pria memanggilnya. “So nan Kah?” (Siapa nama Kamu?) tanya si
pria itu. Ia sontak beranjak dari batu itu dan bertanya kembali “Siapo Waang?” (Siapa nama Kamu?). Mereka saling menanyakan identitas mereka
berulang-ulang. Karena kesal, sang pria tersebut mengeluarkan parang. Karena
melihat pria tersebut, ia pun
mengambil parang yang berada di dekatnya. Mereka saling menghunuskan pedang.
“Dari pat Kah?’ (Darimana Kamu?)” tanya-nya. “Darimano Waang?” (Darimana Kamu?) jawab
pria itu. Mereka saling melemparkan pertanyaan yang tidak kunjung mendapatkan
hasil. Mereka pun akhirnya saling
berduel. Mereka berduel dengan sangat sengit. Duel mereka seimbang satu sama
lainnya. Hari pun menjelang malam.
Di tengah duel mereka, ada
seorang wanita, berpakaian serba putih. Wanita itu pun mendekat ke arah
pertarungan itu. Mereka yang sedang berduel sontak terkejut dengan kedatangan
wanita tersebut. Mereka menghentikan pertarungan. Mereka juga memasang
kuda-kuda, jika salah satu dari mereka berbuat curang dalam pertarungan.
Sesampainya wanita itu kepada dua pria tersebut, wanita itu pun memandangi
mereka. Wanita tersebut lalu memecahkan keheningan,
“Untuk apa kalian bertengkar?"
"Untuk apa kalian berdua saling
menghunuskan parang kalian?"
"Apakah jika salah seorang kalian
kalah dan terbunuh akan membuat kalian merasa senang?
Apakah kalian tidak bisa akur terhadap sesama
kalian? “
Mereka yang sebelumnya tidak
mengerti satu sama lain, tetapi mengerti apa yang dikatakan oleh wanita itu.
Mereka mulai merenungkan kata-kata wanita itu. Lalu wanita itu melanjutkan
perkataannya,
“Cobalah kalian lihat kearah
kedua burung tersebut?” wanita itu sambal menunjuk ke arah sebuah pohon. Pohon
tersebut terdapat dua ekor burung yang saling membantu dalam membuat sarang.
Mereka melihat ke arah pohon
tersebut. Mereka melihat bagaimana kedua burung tersebut membantu dalam
pembuatan sarang. Mereka lalu melepaskan parang mereka. Mereka saling memandang
dengan apa yang mereka lihat. Mereka mengerti kenapa mereka saling menghunuskan
parang. Mereka pun ingin berterimakasih kepada sang wanita terseut, tetapi sang
wanita tersebut telah menghilang. Mereka terheran-heran, kemana wanita tersebut
pergi.
Keesokan harinya, mereka mulai
membangun pondok bersama. Mereka juga membangun ladang dan sawah secara
bersama-sama. Hari demi hari mereka mengembangkan daerah tersebut, hingga
daerah tersebut menjadi daerah pemukiman yang ramai didatangi orang dari luar. Mereka pun menamakan daerah tersebut menjadi
Samadua. Nama Samadua diambilo dari inspirasi mereka dari ketidak mengertian
mereka terhadap Bahasa masing-masing, padahal mereka menanyakan hal yang sama,
dan mereka terinspirasi dari kedua burung tersebut. Daerah air terjun tersebut
diberi nama Air Dingin, tempat pemukiman awal mereka. Hingga kini, daerah
Samadua umumnya menggunakan Bahasa Aneuk Jamee yang merupakan perpaduan dari
Bahasa Aceh dan Bahasa Minangkabau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar