Cari Blog Ini

Sabtu, 07 September 2013

Makalah demokrasi dan Pemilu

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang berusaha membangun system politik demokrasi sejak menyatakan kemerdekaaan dan kedaulatannya pada tahun 1945. Namun, banyak kalangan berpendapat bahwa sesungguhnya negara Indonesia hingga sekarang ini masih dalam tahap “demokratisasi”. Artinya, demokrasi yang kini dibangun belum benar-benar berdiri dengan mantap. Masih banyak yang harus dibangun dalam hal demokrasi, bukan saja berkaitan dengan system politik kenegaraan, tetapi dalam arti yang lebih luas adalah mencakup bidang budaya, hukum, dan perangkat-perangkat lain yang penting bagi tumbuhnya demokrasi dan masyarakat madani.
Sebagai sebuah gagasan negara demokrasi yang memenuhi persyaratan-persyaratan ideal-universal, negara Indonesia telah mencoba untuk menerapkannya. Sejak awal kemerdekaan negara Indonesia, berbagai hal berkenaan dengan hubungan negara dan masyarakat telah diatur di dalam UUD 1945. Para founding fathers (pendiri negara) berkeinginan kuat agar system politik Indonesia mampu mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut dalam perdamaian dunia. Hal-hal inilah yang melandasi gagasan-gagasan besar bangsa dan rakyat Indonesia yang ingin diwujudkan melalui “cita moral” dan “cita hukum” sebagaimana termakhtub dalam Pembukaan UUD 1945.
Langkah awal demokratisasi di Indonesia dilakukan melalui penebitan Maklumat Wakil Presiden No. X, tanggal 3 November 1945 tentang anjuran untuk membentuk partai politik. Kemudian langkah berikut adalah segera dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota DPR yang diselenggarakan pada tahun 1946. Namun, beum siapnya perangkat perundang-undangan yang mengatur pemilu dan instabilitas akibat pemberontakan dan silih bergantinya cabinet mengakibatnya pemilu sampai dengan tahun 1950 belum dapat terselenggara. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953, pelaksanaan pemilu pertama kali di Indonesia yang ditunggu-tunggu dapat terselenggara pada tahun 1955 yang diikuti oleh lebih dari 30 (tiga puluh) peserta dari perorangan (independen) dan partai politik.
Pada era berikutnya, pelaksanaan pemilu sebagai sarana demokrasi baik pada masa orde baru maupun era reformasi terselenggara dengan baik. Pilihan ideology dan system politik demokrasi Pancasila sebagai dasar dan falsafah  negara Indonesia merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa yang akan menjadi pedoman dalam kehidpan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun praktik-praktik demokrasi Pancasila pada masa lalu menunjukkan pengalaman yang kurang baik, bukan berarti nilai-nilai Pancasila tidak memiliki hubungan dengan system politik demokrasi yang berkembang hingga saat ini.
Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara dan bangsa Indonesia telah sepakat merumuskan Pancasila sebagai dasar negara sehingga sila-sila Pancasila yang tercantum di dalamnya merupakan nilai-nilai dasar yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Singkatnya pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Hal itu ditandai dengan perubahan bentuk demokrasi yang pernah dilaksanakan di Indoneisa.

1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat kita ambil rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.2.1.                  Apa pengertian demokrasi ?
1.2.2.                  Bagaimana demokrasi di Indonesia serta pelaksanaannya?
1.2.3.                  Apa pengertian pemilu?
1.2.4.                  Apakah tujuan dari pemilu?
1.2.5.                  Bagaimana pelaksanaan pemilu di Indonesia?

1.3.Tujuan Masalah
Tujuan masalah dari latar belakang di atas adalah:
1.3.1.                  Untuk mengetahui pengertian demokrasi
1.3.2.                  Untuk mengetahui pelaksanaan demokrasi di Indonesia
1.3.3.                  Untuk mengetahui pengertian dari pemilu
1.3.4.                  Untuk mengetahui tujuan dari pemilu
1.3.5.                  Untuk mengetahui pelaksanaan pemilu di Indonesia



BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1.Demokrasi
2.2.1.                  Pengertian Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warga negara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Menurut Abraham Lincoln (Presiden AS ke-16), demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Democracy is government of the people, by the people and for the people). Azas-azas pokok demokrasi dalam suatu pemerintahan demokratis adalah:
a.    pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya melalui pemilihan wakil-wakil rakyat untuk parlemen secara bebas dan rahasia; dan
b.   pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia.

2.2.2.                  Ciri-ciri pokok pemerintahan demokratis
a.       Pemerintahan berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat banyak, dengan ciri-ciri tambahan:
a)   konstitusional, yaitu bahwa prinsip-prinsip kekuasaan, kehendak dan kepentingan rakyat diatur dan ditetapkan dalam konstitusi;
b)   perwakilan, yaitu bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat diwakilkan kepada beberapa orang;
c)   pemilihan umum, yaitu kegiatan politik untuk memilih anggota-anggota parlemen;
d)  kepartaian, yaitu bahwa partai politik adalah media atau sarana antara dalam praktik pelaksanaan demokrasi
b.      Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, misalnya pembagian/ pemisahan kekuasaan eksekutif,  legislatif dan yudikatif.
c.       Adanya tanggung jawab dari pelaksana kegiatan pemerintahan.

2.2.3.                  Macam-macam demokrasi

2.2.3.1.                        Demokrasi ditinjau dari cara penyaluran kehendak rakyat:
a.       Demokrasi langsung
Dipraktikkan di negara-negara kota (polis, city state) pada zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, seluruh rakyat dapat menyampaikan aspirasi dan pandangannya secara langsung. Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui – secara langsung pula – aspirasi dan persoalan-persoalan yang sebenarnya dihadapi masyarakat. Tetapi dalam zaman modern, demokrasi langsung sulit dilaksanakan karena:
1)      Sulitnya mencari tempat yang dapat menampung seluruh rakyat sekaligus dalam membicarakan suatu urusan;
2)      Tidak setiap orang memahami persoalan-persoalan negara yang semakin rumit dan kompleks;
3)      Musyawarah tidak akan efektif, sehingga sulit menghasilkan keputusan yang baik.

b.      Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan
Sistem demokrasi (menggantikan demokrasi langsung) yang dalam menyalurkan kehendaknya, rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk dalam parlemen. Aspirasi rakyat disampaikan melalui wakil-wakil mereka dalam parlemen. Tipe demokrasi perwakilan berlainan menurut konstitusi negara masing-masing.
Sistem pemilihan ada dua macam, yaitu: pemilihan secara langsung dan pemilihan bertingkat. Pada pemilihan secara langsung, setiap warga negara yang berhak secara langsung memilih orang-orang yang akan duduk di parlemen. Sedangkan pada pemilihan bertingkat, yang dipilih rakyat adalah orang-orang di lingkungan mereka sendiri, kemudian orang-orang yang terpilih itu memilih anggota-anggota parlemen.

c.       Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum
Dalam sistem demokrasi ini rakyat memilih para wakil mereka untuk duduk di parlemen, tetapi parlemen tetap dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem referendum (pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara langsung). Sistem ini digunakan di salah satu negara bagian Swiss yang disebut Kanton.

2.2.3.2.                        Demokrasi ditinjau dari titik berat perhatiannya
a.       Demokrasi Formal (Demokrasi Liberal)
Demokrasi formal menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik tanpa disertai upaya untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan rakyat dalam bidang ekonomi. Dalam sistem demokrasi yang demikian, semua orang dianggap memiliki derajat dan hak yang sama. Namun karena kesamaan itu, penerapan azas free fight competition (persaingan bebas) dalam bidang ekonomi menyebabkan kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin kian lebar. Kepentingan umum pun diabaikan.
Demokrasi formal/ liberal sering pula disebut demokrasi Barat karena pada umumnya dipraktikkan oleh negara-negara Barat. Kaum komunis bahkan menyebutnya demokrasi kapitalis karena dalam pelaksanaannya kaum kapitalis selalu dimenangkan oleh pengaruh uang (money politics) yang menguasai opini masyarakat (public opinion).

b.      Demokrasi Material (Demokrasi Rakyat)
Demokrasi material menitikberatkan upaya-upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi sehingga persamaan dalam persamaan hak dalam bidang politik kurang diperhatikan, bahkan mudah dihilangkan. Untuk mengurangi perbedaan dalam bidang ekonomi, partai penguasa (sebagai representasi kekuasaan negara) akan menjadikan segala sesuatu sebagai milik negara. Hak milik pribadi tidak diakui. Maka, demi persamaan dalam bidang ekonomi, kebebasan dan hak-hak azasi manusia di bidang politik diabaikan. Demokrasi material menimbulkan perkosaan rohani dan spiritual.
Demokrasi ini sering disebut demokrasi Timur, karena berkembang di negara-negara sosialis/ komunis di Timur, seperti Rusia, Cekoslowakia, Polandia dan Hongaria dengan ciri-ciri:
a)      sistem satu (mono) partai, yaitu partai komunis (di Rusia);
b)      sistem otoriter, yaitu otoritas penguasa dapat dipaksakan kepada rakyat;
c)      sistem perangkapan pimpinan, yaitu pemimpin partai merangkap sebagai pemimpin negara/ pemerintahan;
d)     sistem pemusatan kekuasaan di tangan penguasa tertinggi dalam negara.

c.       Demokrasi Gabungan
Demokrasi ini mengambil kebaikan dan membuang keburukan demokrasi formal dan material. Persamaan derajat dan hak setiap orang tetap diakui, tetapi diperlukan pembatasan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pelaksanaan demokrasi ini bergantung pada ideologi negara masing-masing sejauh tidak secara jelas kecenderungannya kepada demokrasi liberal atau demokrasi rakyat.

2.2.3.3.                        Demokrasi ditinjau dari hubungan antaralat perlengkapan negara
a)      Demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer  
Demokrasi sistem parlementer semula lahir di Inggris pada abad XVIII dan dipergunakan pula di negara-negara Belanda, Belgia, Prancis, dan Indonesia (pada masa UUDS 1950) dengan pelaksanaan yang bervariasi, sesuai dengan konstitusi negara masing-masing.
Negara-negara Barat banyak menggunakan demokrasi parlementer sesuai dengan masyarakatnya yang cenderung liberal. Ciri khas demokrasi ini adalah adanya hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan perwakilan rakyat atau legislatif. Para menteri yang menjalankan kekuasaan eksekutif diangkat atas usul suara terbanyak dalam sidang parlemen. Mereka wajib menjalankan tugas penyelenggaraan negara sesuai dengan pedoman atau program kerja yang telah disetujui oleh parlemen. Selama penyelenggaraan negara oleh eksekutif disetujui dan didukung oleh parlemen, maka kedudukan eksekutif akan stabil. Penyimpangan oleh seorang menteri pun dapat menyebabkan parlemen mengajukan mosi tidak percaya yang menggoyahkan kedudukan eksekutif.
Demokrasi parlementer lebih cocok diterapkan di negara-negara yang menganut sistem dwipartai: partai mayoritas akan menjadi partai pendukung pemerintah dan partai minoritas menjadi oposisi.
Dalam demokrasi parlementer, terdapat pembagian kekuasaan (distribution of powers) antara badan eksekutif dengan badan legislatif dan kerja sama di antara keduanya. Sedangkan badan yudikatif menjalankan kekuasaan peradilan secara bebas, tanpa campur tangan dari badan eksekutif maupun legislatif.
Kelebihan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1.      Pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan pemerintah sangat besar;
2.      Pengawasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dapat berjalan dengan baik;
3.      Kebijakan politik pemerintah yang dianggap salah oleh rakyat dapat sekaligus dimintakan pertanggungjawabannya oleh parlemen kepada kabinet;
4.      Mudah mencapai kesesuaian pendapat antara badan eksekutif dan badan legislatif;
5.      Menteri-menteri yang diangkat merupakan kehendak dari suara terbanyak di parlemen sehingga secara tidak langsung merupakan kehendak rakyat pula;
6.      Menteri-menteri akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas karena setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen;
7.      Pemerintah yang dianggap tidak mampu mudah dijatuhkan dan diganti dengan pemerintah baru yang dianggap sanggup menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat.
Kelemahan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1.      Kedudukan badan eksekutif tidak stabil, karena dapat diberhentikan setiap saat oleh parlemen melalui mosi tidak percaya;
2.      Sering terjadi pergantian kabinet, sehingga kebijakan politik negara pun labil
3.      Karena pergantian eksekutif yang mendadak, eksekutif tidak dapat menyelesaikan program kerja yang telah disusunnya.

b)      Demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan
Demokrasi ini berpangkal pada teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh para filsuf bidang politik dan hukum. Pelopornya adalah John Locke (1632-1704) dari Inggris, yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bidang, yaitu eksekutif, legislatif dan federatif. Untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ketiga bidang itu harus dipisahkan. Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1688-1755) asal Prancis, memodifikasi teori Locke itu dalam teori yang disebut Trias Politica pada bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi menjadi: legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (kekuasaan mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan perselisihan antarlembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang). Ketiga cabang kekuasaan itu harus dipisahkan, baik organ/ lembaganya maupun fungsinya.
Teori Montesquieu disebut teori pemisahan kekuasaan (separation du puvoir) dan dijalankan hampir sepenuhnya di Amerika Serikat. Di negara itu, kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif oleh Presiden dan kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga badan tersebut berdiri terpisah dari yang lainnya untuk menjaga keseimbangan dan mencegah jangan sampai kekuasaan salah satu badan menjadi terlampau besar. Kesederajatan itu menjadikan ketiganya dapat berperan saling mengawasi (check and balance).
Kelebihan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
1.    Pemerintah selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, sehingga pemerintahan dapat berlangsung relatif stabil;
2.    Pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan programnya tanpa terganggu oleh adanya krisis kabinet;
3.    Sistem check and balance dapat menghindari pertumbuhan kekuasaan yang terlampau besar pada setiap badan;
4.    Mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut (terpusat pada satu orang).
Kelemahan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
1.   Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh;
2.   Pengaruh rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang mendapat perhatian;
3.   Pada umumnya keputusan yang diambil merupakan hasil negosiasi antara badan legislatif dan eksekutif sehingga keputusan tidak tegas;
4.   Proses pengambilan keputusan memakan waktu yang lama.

c).       Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum
Demokrasi ini merupakan gabungan antara demokrasi perwakilan dengan demokrasi langsung. Dalam negara yang menganut demokrasi ini parlemen tetap ada, tetapi kinerjanya dikontrol secara langsung oleh rakyat melalui referendum. Jadi, ciri khas demokrasi perwakilan dengan sistem referendum adalah bahwa tugas-tugas legislatif selalu berada di bawah pengawasan seluruh rakyat karena dalam hal-hal tertentu, keputusan parlemen tidak dapat diberlakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan mengenai hal lain, keputusan parlemen dapat langsung diberlakukan sepanjang rakyat menerimanya.
Ada dua macam referendum, yaitu referendum obligator dan referendum fakultatif. Referendum obligator adalah pemungutan suara rakyat yang wajib dilaksanakan mengenai suatu rencana konstitusional. Referendum ini bersifat wajib karena menyangkut masalah penting, misalnya tentang perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan referendum fakultatif merupakan pemungutan suara rakyat yang tidak bersifat wajib dilakukan mengenai suatu rencana konstitusional. Referendum fakultatif baru perlu dilakukan apabila dalam waktu tertentu setelah undang-undang diumumkan pemberlakuannya, sejumlah rakyat meminta diadakan referendum.
Kelebihan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:
1.    apabila terjadi pertentangan antara badan organisasi negara, maka persoalan itu dapat diserahkan keputusannya kepada rakyat tanpa melalui partai;
2.    adanya kebebasan anggota parlemen dalam menentukan pilihannya, sehingga pendapatnya tidak harus sama dengan pendapat partai/ golongannya.
Kelemahan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:
1.   pembuatan undang-undang/ peraturan relatif lebih lambat dan sulit;
2.   pada umumnya rakyat kebanyakan tidak berpengetahuan cukup untuk menilai atau menguji kualitas produk undang-undang.

2.2.3.1 Prinsip-prinsip Demokrasi
a.       Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
b.      Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga negara.
c.       Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negara.
d.      Penghormatan terhadap supremasi hukum.
                       

2.2.Demokrasi di Indonesia
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yag tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.
Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan.
Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi. Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan hanya pada elit tertentu.
2.3.Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia (Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi)
Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
2.3.1.      Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

2.3.2.      Periode 1959-1965 (Orde Lama)
Demokrasi Terpimpin Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.

2.3.3.      Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah

2.3.4.      Periode 1998-sekarang( Reformasi )
Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. . Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun.


2.4.Pemilihan Umum
a)      Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presidenwakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorikapublic relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. Undang-Undang yang menjadi dasar pemilu adalah Undang-Undang Rpublik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Pemilihan umum memiliki arti penting sebagai berikut:
Ø  Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislative
Ø  Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu
Ø  Rakyat melalui perwakilannya secara berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif.
Pemilihan umum dapat dibedakan dengan dua cara:
Ø  Cara langsung berarti rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat. Contohnya, pemil di Indonesia untuk memilih anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR.
Ø  Cara bertingkat berarti rakyat memilih dulu wakilnya (senat), kemudian wakilnya itulah yang akan memilih wakil rakyat yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.

Dalam pemilihan umum diharapkan wakil-wakil yang dipilih benar-benar sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat yang memilihnya. Oleh sebab itu, dalam ilmu politik secara teoritis dikenal cara atau system memilih wakil rakyat agar mewakili rakyat yang memilihnya.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas terdapat 3 (tiga) system pemilihan umum, yaitu:
a.       Sistem Distrik
Sistem distrik merupakan system pemilu yang paling tua dan didasarkan kepada kesatuan geografis, di mana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen. Sistem distrik sering dipakai dalam negara yang mempunyai system dwi partai, seperti Inggris serta bekas jajahannya (India dan Malaysia) dan Amerika Serikat. Namun, system distrik juga dapat dilaksanakan pada suatu negara yang menganut system multipartai, seperti di Malaysia. Di sini system distrik secara alamiah mendorong partai-partai untuk koalisi, mulai dari menghadapi pemilu.
Sistem distrik memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
1.      Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik itu, hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Wakil tersebu lebih condong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Wakil tersebut lebih independen terhadap partainya karena rakyat lebih memberikan pertimbangan untuk memilih wakil tersebut karena factor integritas pribadi sang wakil. Namun demikian, wakil tersebut juga terikat dengan partainya, seperti untuk kampanye dan lain-lain.
2.      Sistem ini lebih cenderung ke arah koalisi partai-partai karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah, distrik hanya satu. Sehingga mendorong partai menonjolkan kerja sama ketimbang perbedaan, setidak-tidaknya menjelang pemilu, melalui stembus record.
3.      Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat terbendung, malah dapat melakukan penyederhanaan partai secara alamiah tanpa paksa. Di Inggris dan Amerika Serikat system ini menunjang bertahannya system dwipartai.
4.      Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen tidak perlu diadakan koalisi partai lain, sehingga mendukung stabilitas nasional.
5.      Sistem ini sederhana dan serta mudah untuk dilaksanakan.

Di samping keuntungan, system distrik juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1.      Kurang memperhatikan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apabila golonga tersebut terpencar dalam beberapa distrik.
2.      Kurang representative, di mana partai yang kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Dengan demikian, suara tersebut tidak diperhitungkan lagi. Kalau sejumlah partai ikut dalam setiap distrik akan banyak jumlah suara yang hilang sehingga dianggap kurang adil oleh partai atau golongan yang dirugikan.
3.      Ada kecenderungan si wakil lebih mementingkan kepentingan daerah pemilihannya daripada kepentingan nasional.
4.      Umumnya kurang efektif bagi suatu masyarakat heterogen.

b.      Sistem Proporsional
Sistem perwakilan proporsional adalah presentasi kursi di DPR dibagi kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan jumlah suara yang diprolehnya dalam pemilihan umum khusus di daerah pemilihan. Jadi, jumlah kursi yang diperoleh satu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam masyarakat. Untuk keperluan itu kini ditentukan satu pertimbangan, misalnya 1 (satu) orang wakil : 400.000 penduduk. Sistem proporsional sering kali dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, seperti system daftar (list system), di mana partai mengajukan daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan.
Sistem proporsional memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
1.      Sistem proporsional dianggap lebih demokratis, dalam arti lebih egalitarian, karena one man one vote dilaksanakan secara penuh tanpa ada suara yang hilang.
2.      Sistem ini dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilu.


Di samping segi-segi positif, system proporsional juga memiliki kelemahan, yaitu:
1.      Mempermudah fragmentasi (pembentukan partai baru). Jika terjadi konflik intern partai, anggota yang kecewa cenderung membentuk partai baru, sehingga peluang untuk bersatu kurang. Bahkan ada kecenderungan partai buka diletakkan pada landasan ideology atau asas, melainkan kepentingan untuk memperebutkan jabatan atau kursi di parlemen.
2.      Sistem ini lebih memperbesar perbedaan yang ada dibandingkan dengan kerja sama sehingga ada kecenderungan untuk memperbanyak jumlah partai, seperti di Indonesia setelah reformasi 1998.
3.      Sistem ini memberikan peranan atau kekuasaan yang sangat kuat kepada pemimpin partai, karena kepemimpinan menentukan orang-orang yang akan dicalonkan menjadi wakil rakyat. Bahkan ada kecenderungan wakil rakyat lebih menjaga kepentingan dewan pimpinan partainya daripada kepentingan rakyat. Pada zaman Orba system ini dapat digunakan oleh pimpinan partai untuk me-recall anggotanya yang vocal atau tidak sejalan dengan haluan partai di parlemen
4.      Wakil yang dipilih renggang ikatannya dengan warga yang telah memilihnya, karena saat pemilihan umum yang lebih menonjol adalah partainya dan wilayah pemilihan sangat besar (sebesar provinsi). Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian sang wakil. Di Indonesia banyak kritikan pada system ini dengan sebutan seperti memilih  “kucing dalam karung”, artinya rakyat memilih tanda gambar peserta pemilu, tetapi siapa wakil yang dipilih kurang diketahui rakyat pemilih.
5.      Karena banyaknya partai yang bersaing sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50% + 1) dalam parlemen.

c. Sistem Gabungan
Sistem gabungan merupakan system yang menggabungkan system distrik dengan proporsional. Sistem ini membagi wilayah negara dalam beberapa daerah pemilihan. Sisa suara pemilih tidak hilang, melainkan diperhitungkan dengan jumlah kursi yang belum dibagi. Sistem gabungan ini diterapkan di Indonesia sejak pemilu tahun 1977 dalam memilih anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II. Sistem ini disebut juga system proporsional berdasarkan stelsel daftar.


Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional. Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitu pun sebaliknya.
Sistem proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh partai politik tersebut. Karena adanya perimbangan antara jumlah suara dengan kursi, maka di Indonesia dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP merefleksikan jumlah suara yang menjadi batas diperolehnya kursi di suatu daerah pemilihan. Partai politik dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu kandidat karena kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu.



BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Indonesia telah menjalan beberapa demokrasi dari zaman orde lama, orde baru hingga reformasi.akhirnya di Indonesia menggunakan system demokrasi pancasila.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presidenwakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorikapublic relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional. Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitu pun sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA

Budiayanto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga