BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang berusaha
membangun system politik demokrasi sejak menyatakan kemerdekaaan dan
kedaulatannya pada tahun 1945. Namun, banyak kalangan berpendapat bahwa sesungguhnya
negara Indonesia hingga sekarang ini masih dalam tahap “demokratisasi”.
Artinya, demokrasi yang kini dibangun belum benar-benar berdiri dengan mantap.
Masih banyak yang harus dibangun dalam hal demokrasi, bukan saja berkaitan
dengan system politik kenegaraan, tetapi dalam arti yang lebih luas adalah
mencakup bidang budaya, hukum, dan perangkat-perangkat lain yang penting bagi
tumbuhnya demokrasi dan masyarakat madani.
Sebagai sebuah gagasan negara demokrasi yang memenuhi
persyaratan-persyaratan ideal-universal, negara Indonesia telah mencoba untuk
menerapkannya. Sejak awal kemerdekaan negara Indonesia, berbagai hal berkenaan
dengan hubungan negara dan masyarakat telah diatur di dalam UUD 1945. Para founding fathers (pendiri negara)
berkeinginan kuat agar system politik Indonesia mampu mewujudkan pemerintahan
yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
dan ikut dalam perdamaian dunia. Hal-hal inilah yang melandasi gagasan-gagasan
besar bangsa dan rakyat Indonesia yang ingin diwujudkan melalui “cita moral”
dan “cita hukum” sebagaimana termakhtub dalam Pembukaan UUD 1945.
Langkah awal demokratisasi di Indonesia dilakukan melalui penebitan
Maklumat Wakil Presiden No. X, tanggal 3 November 1945 tentang anjuran untuk membentuk
partai politik. Kemudian langkah berikut adalah segera dilaksanakan pemilu
untuk memilih anggota DPR yang diselenggarakan pada tahun 1946. Namun, beum
siapnya perangkat perundang-undangan yang mengatur pemilu dan instabilitas
akibat pemberontakan dan silih bergantinya cabinet mengakibatnya pemilu sampai
dengan tahun 1950 belum dapat terselenggara. Dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953, pelaksanaan pemilu pertama kali di Indonesia
yang ditunggu-tunggu dapat terselenggara pada tahun 1955 yang diikuti oleh
lebih dari 30 (tiga puluh) peserta dari perorangan (independen) dan partai
politik.
Pada era berikutnya, pelaksanaan pemilu sebagai sarana demokrasi baik
pada masa orde baru maupun era reformasi terselenggara dengan baik. Pilihan
ideology dan system politik demokrasi Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia merupakan hasil kristalisasi
nilai-nilai luhur budaya bangsa yang akan menjadi pedoman dalam kehidpan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun praktik-praktik demokrasi
Pancasila pada masa lalu menunjukkan pengalaman yang kurang baik, bukan berarti
nilai-nilai Pancasila tidak memiliki hubungan dengan system politik demokrasi
yang berkembang hingga saat ini.
Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara dan bangsa Indonesia telah
sepakat merumuskan Pancasila sebagai dasar negara sehingga sila-sila Pancasila
yang tercantum di dalamnya merupakan nilai-nilai dasar yang melandasi
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Singkatnya pelaksanaan demokrasi
di Indonesia dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Hal itu ditandai
dengan perubahan bentuk demokrasi yang pernah dilaksanakan di Indoneisa.
1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat kita ambil rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1.2.1.
Apa pengertian demokrasi ?
1.2.2.
Bagaimana demokrasi di Indonesia serta pelaksanaannya?
1.2.3.
Apa pengertian pemilu?
1.2.4.
Apakah tujuan dari pemilu?
1.2.5.
Bagaimana pelaksanaan pemilu di Indonesia?
1.3.Tujuan Masalah
Tujuan masalah dari latar belakang di atas adalah:
1.3.1.
Untuk mengetahui pengertian demokrasi
1.3.2.
Untuk mengetahui pelaksanaan demokrasi di Indonesia
1.3.3.
Untuk mengetahui pengertian dari pemilu
1.3.4.
Untuk mengetahui tujuan dari pemilu
1.3.5.
Untuk mengetahui pelaksanaan pemilu di Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1.Demokrasi
2.2.1.
Pengertian Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno
yang diutarakan di Athena
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal
ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif)
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu
sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini
diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah
lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif
dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai
aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan
umum legislatif,
selain sesuai hukum
dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau
hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh
melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti
oleh seluruh warga negara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan
secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga
negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti
hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung,
tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau
anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai
negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung
presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun
perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering
dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem
pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun
seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa
hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu,
misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
Demokrasi
menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah
(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat
yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang
lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri
anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan
aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap
lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus
ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara
dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut.
Menurut Abraham Lincoln (Presiden AS
ke-16), demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Democracy
is government of the people, by the people and for the people). Azas-azas
pokok demokrasi dalam suatu pemerintahan demokratis adalah:
a.
pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan,
misalnya melalui pemilihan wakil-wakil rakyat untuk parlemen secara bebas dan
rahasia; dan
b.
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi
manusia.
2.2.2.
Ciri-ciri pokok pemerintahan demokratis
a. Pemerintahan
berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat banyak, dengan ciri-ciri tambahan:
a)
konstitusional, yaitu bahwa prinsip-prinsip kekuasaan,
kehendak dan kepentingan rakyat diatur dan ditetapkan dalam konstitusi;
b)
perwakilan, yaitu bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat
diwakilkan kepada beberapa orang;
c)
pemilihan umum, yaitu kegiatan politik untuk memilih
anggota-anggota parlemen;
d) kepartaian,
yaitu bahwa partai politik adalah media atau sarana antara dalam praktik
pelaksanaan demokrasi
b. Adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan, misalnya pembagian/ pemisahan kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
c. Adanya
tanggung jawab dari pelaksana kegiatan pemerintahan.
2.2.3.
Macam-macam demokrasi
2.2.3.1.
Demokrasi ditinjau dari cara
penyaluran kehendak rakyat:
a. Demokrasi
langsung
Dipraktikkan
di negara-negara kota (polis, city state) pada zaman Yunani Kuno. Pada
masa itu, seluruh rakyat dapat menyampaikan aspirasi dan pandangannya secara
langsung. Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui – secara langsung pula –
aspirasi dan persoalan-persoalan yang sebenarnya dihadapi masyarakat. Tetapi
dalam zaman modern, demokrasi langsung sulit dilaksanakan karena:
1)
Sulitnya mencari tempat yang dapat menampung seluruh
rakyat sekaligus dalam membicarakan suatu urusan;
2)
Tidak setiap orang memahami persoalan-persoalan negara
yang semakin rumit dan kompleks;
3)
Musyawarah tidak akan efektif, sehingga sulit
menghasilkan keputusan yang baik.
b. Demokrasi
tidak langsung atau demokrasi perwakilan
Sistem
demokrasi (menggantikan demokrasi langsung) yang dalam menyalurkan kehendaknya,
rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk dalam parlemen. Aspirasi rakyat
disampaikan melalui wakil-wakil mereka dalam parlemen. Tipe demokrasi
perwakilan berlainan menurut konstitusi negara masing-masing.
Sistem
pemilihan ada dua macam, yaitu: pemilihan secara langsung dan pemilihan
bertingkat. Pada pemilihan secara langsung, setiap warga negara yang berhak
secara langsung memilih orang-orang yang akan duduk di parlemen. Sedangkan pada
pemilihan bertingkat, yang dipilih rakyat adalah orang-orang di lingkungan
mereka sendiri, kemudian orang-orang yang terpilih itu memilih anggota-anggota
parlemen.
c. Demokrasi
perwakilan dengan sistem referendum
Dalam
sistem demokrasi ini rakyat memilih para wakil mereka untuk duduk di parlemen,
tetapi parlemen tetap dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem referendum
(pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara langsung). Sistem ini
digunakan di salah satu negara bagian Swiss yang disebut Kanton.
2.2.3.2.
Demokrasi ditinjau dari titik berat
perhatiannya
a. Demokrasi
Formal (Demokrasi Liberal)
Demokrasi
formal menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik tanpa disertai upaya
untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan rakyat dalam bidang ekonomi.
Dalam sistem demokrasi yang demikian, semua orang dianggap memiliki derajat dan
hak yang sama. Namun karena kesamaan itu, penerapan azas free fight
competition (persaingan bebas) dalam bidang ekonomi menyebabkan
kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin kian lebar. Kepentingan
umum pun diabaikan.
Demokrasi
formal/ liberal sering pula disebut demokrasi Barat karena pada umumnya
dipraktikkan oleh negara-negara Barat. Kaum komunis bahkan menyebutnya
demokrasi kapitalis karena dalam pelaksanaannya kaum kapitalis selalu
dimenangkan oleh pengaruh uang (money politics) yang menguasai opini
masyarakat (public opinion).
b. Demokrasi
Material (Demokrasi Rakyat)
Demokrasi
material menitikberatkan upaya-upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang
ekonomi sehingga persamaan dalam persamaan hak dalam bidang politik kurang
diperhatikan, bahkan mudah dihilangkan. Untuk mengurangi perbedaan dalam bidang
ekonomi, partai penguasa (sebagai representasi kekuasaan negara) akan
menjadikan segala sesuatu sebagai milik negara. Hak milik pribadi tidak diakui.
Maka, demi persamaan dalam bidang ekonomi, kebebasan dan hak-hak azasi manusia
di bidang politik diabaikan. Demokrasi material menimbulkan perkosaan rohani
dan spiritual.
Demokrasi
ini sering disebut demokrasi Timur, karena berkembang di negara-negara
sosialis/ komunis di Timur, seperti Rusia, Cekoslowakia, Polandia dan Hongaria
dengan ciri-ciri:
a)
sistem satu (mono) partai, yaitu partai komunis (di
Rusia);
b)
sistem otoriter, yaitu otoritas penguasa dapat
dipaksakan kepada rakyat;
c)
sistem perangkapan pimpinan, yaitu pemimpin partai
merangkap sebagai pemimpin negara/ pemerintahan;
d)
sistem pemusatan kekuasaan di tangan penguasa tertinggi
dalam negara.
c.
Demokrasi Gabungan
Demokrasi
ini mengambil kebaikan dan membuang keburukan demokrasi formal dan material.
Persamaan derajat dan hak setiap orang tetap diakui, tetapi diperlukan
pembatasan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pelaksanaan demokrasi
ini bergantung pada ideologi negara masing-masing sejauh tidak secara jelas
kecenderungannya kepada demokrasi liberal atau demokrasi rakyat.
2.2.3.3.
Demokrasi ditinjau dari hubungan
antaralat perlengkapan negara
a) Demokrasi
perwakilan dengan sistem parlementer
Demokrasi
sistem parlementer semula lahir di Inggris pada abad XVIII dan dipergunakan
pula di negara-negara Belanda, Belgia, Prancis, dan Indonesia (pada masa UUDS
1950) dengan pelaksanaan yang bervariasi, sesuai dengan konstitusi negara
masing-masing.
Negara-negara
Barat banyak menggunakan demokrasi parlementer sesuai dengan masyarakatnya yang
cenderung liberal. Ciri khas demokrasi ini adalah adanya hubungan yang erat antara
badan eksekutif dengan badan perwakilan rakyat atau legislatif. Para menteri
yang menjalankan kekuasaan eksekutif diangkat atas usul suara terbanyak dalam
sidang parlemen. Mereka wajib menjalankan tugas penyelenggaraan negara sesuai
dengan pedoman atau program kerja yang telah disetujui oleh parlemen. Selama
penyelenggaraan negara oleh eksekutif disetujui dan didukung oleh parlemen,
maka kedudukan eksekutif akan stabil. Penyimpangan oleh seorang menteri pun
dapat menyebabkan parlemen mengajukan mosi tidak percaya yang menggoyahkan
kedudukan eksekutif.
Demokrasi
parlementer lebih cocok diterapkan di negara-negara yang menganut sistem
dwipartai: partai mayoritas akan menjadi partai pendukung pemerintah dan partai
minoritas menjadi oposisi.
Dalam
demokrasi parlementer, terdapat pembagian kekuasaan (distribution of powers)
antara badan eksekutif dengan badan legislatif dan kerja sama di antara
keduanya. Sedangkan badan yudikatif menjalankan kekuasaan peradilan secara
bebas, tanpa campur tangan dari badan eksekutif maupun legislatif.
Kelebihan
demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1.
Pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan
pemerintah sangat besar;
2.
Pengawasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dapat
berjalan dengan baik;
3.
Kebijakan politik pemerintah yang dianggap salah oleh
rakyat dapat sekaligus dimintakan pertanggungjawabannya oleh parlemen kepada
kabinet;
4.
Mudah mencapai kesesuaian pendapat antara badan
eksekutif dan badan legislatif;
5.
Menteri-menteri yang diangkat merupakan kehendak dari suara
terbanyak di parlemen sehingga secara tidak langsung merupakan kehendak rakyat
pula;
6.
Menteri-menteri akan lebih berhati-hati dalam
menjalankan tugas karena setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen;
7.
Pemerintah yang dianggap tidak mampu mudah dijatuhkan
dan diganti dengan pemerintah baru yang dianggap sanggup menjalankan
pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat.
Kelemahan
demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1.
Kedudukan badan eksekutif tidak stabil, karena dapat
diberhentikan setiap saat oleh parlemen melalui mosi tidak percaya;
2.
Sering terjadi pergantian kabinet, sehingga kebijakan
politik negara pun labil
3.
Karena pergantian eksekutif yang mendadak, eksekutif
tidak dapat menyelesaikan program kerja yang telah disusunnya.
b) Demokrasi
perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan
Demokrasi
ini berpangkal pada teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh para filsuf
bidang politik dan hukum. Pelopornya adalah John Locke (1632-1704)
dari Inggris, yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bidang, yaitu
eksekutif, legislatif dan federatif. Untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan, ketiga bidang itu harus dipisahkan. Charles Secondat
Baron de Labrede et de Montesquieu (1688-1755) asal Prancis,
memodifikasi teori Locke itu dalam teori yang disebut Trias Politica
pada bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Menurut Montesquieu,
kekuasaan negara dibagi menjadi: legislatif (kekuasaan membuat undang-undang),
eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (kekuasaan
mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan perselisihan antarlembaga yang
berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang). Ketiga cabang kekuasaan itu harus
dipisahkan, baik organ/ lembaganya maupun fungsinya.
Teori
Montesquieu disebut teori pemisahan kekuasaan (separation du puvoir)
dan dijalankan hampir sepenuhnya di Amerika Serikat. Di negara itu, kekuasaan
legislatif dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif oleh Presiden dan
kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga badan tersebut berdiri terpisah
dari yang lainnya untuk menjaga keseimbangan dan mencegah jangan sampai
kekuasaan salah satu badan menjadi terlampau besar. Kesederajatan itu
menjadikan ketiganya dapat berperan saling mengawasi (check and balance).
Kelebihan
demokrasi perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
1.
Pemerintah selama masa jabatannya tidak dapat
dijatuhkan oleh parlemen, sehingga pemerintahan dapat berlangsung relatif
stabil;
2.
Pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan
programnya tanpa terganggu oleh adanya krisis kabinet;
3.
Sistem check and balance dapat menghindari
pertumbuhan kekuasaan yang terlampau besar pada setiap badan;
4.
Mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut (terpusat
pada satu orang).
Kelemahan
demokrasi perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
1. Pengawasan
rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh;
2. Pengaruh
rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang mendapat perhatian;
3. Pada
umumnya keputusan yang diambil merupakan hasil negosiasi antara badan
legislatif dan eksekutif sehingga keputusan tidak tegas;
4. Proses
pengambilan keputusan memakan waktu yang lama.
c). Demokrasi perwakilan dengan sistem
referendum
Demokrasi
ini merupakan gabungan antara demokrasi perwakilan dengan demokrasi langsung.
Dalam negara yang menganut demokrasi ini parlemen tetap ada, tetapi kinerjanya
dikontrol secara langsung oleh rakyat melalui referendum. Jadi, ciri khas
demokrasi perwakilan dengan sistem referendum adalah bahwa tugas-tugas
legislatif selalu berada di bawah pengawasan seluruh rakyat karena dalam
hal-hal tertentu, keputusan parlemen tidak dapat diberlakukan tanpa persetujuan
rakyat. Sedangkan mengenai hal lain, keputusan parlemen dapat langsung
diberlakukan sepanjang rakyat menerimanya.
Ada
dua macam referendum, yaitu referendum obligator dan referendum
fakultatif. Referendum obligator adalah pemungutan suara rakyat yang wajib
dilaksanakan mengenai suatu rencana konstitusional. Referendum ini bersifat
wajib karena menyangkut masalah penting, misalnya tentang perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan
referendum fakultatif merupakan pemungutan suara rakyat yang tidak bersifat
wajib dilakukan mengenai suatu rencana konstitusional. Referendum fakultatif
baru perlu dilakukan apabila dalam waktu tertentu setelah undang-undang
diumumkan pemberlakuannya, sejumlah rakyat meminta diadakan referendum.
Kelebihan
demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:
1.
apabila terjadi pertentangan antara badan organisasi
negara, maka persoalan itu dapat diserahkan keputusannya kepada rakyat tanpa
melalui partai;
2.
adanya kebebasan anggota parlemen dalam menentukan
pilihannya, sehingga pendapatnya tidak harus sama dengan pendapat partai/
golongannya.
Kelemahan
demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:
1.
pembuatan undang-undang/ peraturan relatif lebih lambat
dan sulit;
2.
pada umumnya rakyat kebanyakan tidak berpengetahuan
cukup untuk menilai atau menguji kualitas produk undang-undang.
2.2.3.1
Prinsip-prinsip Demokrasi
a.
Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan
politik.
b.
Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga
negara.
c.
Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui
dan dipakai oleh para warga negara.
d.
Penghormatan terhadap supremasi hukum.
2.2.Demokrasi di Indonesia
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi
kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan
melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia
Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi
bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini
beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga
bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring
dengan upaya pembangunan ekonomi. Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam
bidang demokrasi yag tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan
Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut
merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan
Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang
demokratis dan makmur.
Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah
berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat
bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya
belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar
dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai
kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan
perpecahan.
Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyebutkan bahwa
demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil
melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara
berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi.
Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga
demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya
bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan
hanya pada elit tertentu.
2.3.Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia (Masa
Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi)
Perkembangan
demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu
:
2.3.1.
Periode
1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada
masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini
mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian
diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan
memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok
diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan
bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala
negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan.
2.3.2.
Periode
1959-1965 (Orde Lama)
Demokrasi
Terpimpin Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin
menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia
dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang
besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap
nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada
diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance
dari legislatif terhadap eksekutif.
2.3.3.
Periode
1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri
demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi
pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis,
dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli
Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi
dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi
partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan
publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga
nonpemerintah
2.3.4.
Periode
1998-sekarang( Reformasi )
Orde reformasi
ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan
presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie.
Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari
rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. . Bergulirnya reformasi yang mengiringi
keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia.
Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini
akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun.
2.4.Pemilihan Umum
a)
Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses
pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan
tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi
jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih
sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif
(tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public
relations, komunikasi massa,
lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan
umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para
kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu
menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.
Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.
Setelah pemungutan
suara dilakukan, proses
penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem
penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para
peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. Undang-Undang yang menjadi dasar
pemilu adalah Undang-Undang Rpublik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Pemilihan
umum memiliki arti penting sebagai berikut:
Ø
Untuk mendukung atau mengubah personel dalam
lembaga legislative
Ø
Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam
menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu
Ø
Rakyat melalui perwakilannya secara berkala
dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif.
Pemilihan umum dapat dibedakan dengan dua cara:
Ø
Cara langsung berarti rakyat secara langsung
memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.
Contohnya, pemil di Indonesia untuk memilih anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR.
Ø
Cara bertingkat berarti rakyat memilih dulu
wakilnya (senat), kemudian wakilnya itulah yang akan memilih wakil rakyat yang
akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.
Dalam pemilihan umum diharapkan wakil-wakil yang dipilih benar-benar
sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat yang memilihnya. Oleh sebab itu,
dalam ilmu politik secara teoritis dikenal cara atau system memilih wakil
rakyat agar mewakili rakyat yang memilihnya.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas terdapat 3 (tiga) system pemilihan
umum, yaitu:
a.
Sistem Distrik
Sistem distrik
merupakan system pemilu yang paling tua dan didasarkan kepada kesatuan
geografis, di mana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen.
Sistem distrik sering dipakai dalam negara yang mempunyai system dwi partai,
seperti Inggris serta bekas jajahannya (India dan Malaysia) dan Amerika
Serikat. Namun, system distrik juga dapat dilaksanakan pada suatu negara yang
menganut system multipartai, seperti di Malaysia. Di sini system distrik secara
alamiah mendorong partai-partai untuk koalisi, mulai dari menghadapi pemilu.
Sistem distrik memiliki
beberapa keuntungan, yaitu:
1.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat
dikenal oleh penduduk distrik itu, hubungannya dengan penduduk distrik lebih
erat. Wakil tersebu lebih condong untuk memperjuangkan kepentingan distrik.
Wakil tersebut lebih independen terhadap partainya karena rakyat lebih
memberikan pertimbangan untuk memilih wakil tersebut karena factor integritas
pribadi sang wakil. Namun demikian, wakil tersebut juga terikat dengan
partainya, seperti untuk kampanye dan lain-lain.
2.
Sistem ini lebih cenderung ke arah koalisi
partai-partai karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah, distrik hanya
satu. Sehingga mendorong partai menonjolkan kerja sama ketimbang perbedaan,
setidak-tidaknya menjelang pemilu, melalui stembus
record.
3.
Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk
partai baru dapat terbendung, malah dapat melakukan penyederhanaan partai
secara alamiah tanpa paksa. Di Inggris dan Amerika Serikat system ini menunjang
bertahannya system dwipartai.
4.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan
mayoritas dalam parlemen tidak perlu diadakan koalisi partai lain, sehingga
mendukung stabilitas nasional.
5.
Sistem ini sederhana dan serta mudah untuk dilaksanakan.
Di samping keuntungan, system distrik juga memiliki beberapa kelemahan,
yaitu:
1.
Kurang memperhatikan adanya partai-partai kecil dan
golongan minoritas, apabila golonga tersebut terpencar dalam beberapa distrik.
2.
Kurang representative, di mana partai yang kalah dalam
suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Dengan demikian, suara
tersebut tidak diperhitungkan lagi. Kalau sejumlah partai ikut dalam setiap
distrik akan banyak jumlah suara yang hilang sehingga dianggap kurang adil oleh
partai atau golongan yang dirugikan.
3.
Ada kecenderungan si wakil lebih mementingkan
kepentingan daerah pemilihannya daripada kepentingan nasional.
4.
Umumnya kurang efektif bagi suatu masyarakat heterogen.
b.
Sistem Proporsional
Sistem perwakilan
proporsional adalah presentasi kursi di DPR dibagi kepada tiap-tiap partai
politik, sesuai dengan jumlah suara yang diprolehnya dalam pemilihan umum
khusus di daerah pemilihan. Jadi, jumlah kursi yang diperoleh satu golongan
atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam
masyarakat. Untuk keperluan itu kini ditentukan satu pertimbangan, misalnya 1
(satu) orang wakil : 400.000 penduduk. Sistem proporsional sering kali
dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, seperti system daftar (list system), di mana partai mengajukan
daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua calon yang
diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan.
Sistem proporsional
memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
1.
Sistem proporsional dianggap lebih demokratis, dalam
arti lebih egalitarian, karena one man
one vote dilaksanakan secara penuh tanpa ada suara yang hilang.
2.
Sistem ini dianggap representative, karena jumlah kursi
partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari
masyarakat dalam pemilu.
Di samping segi-segi positif, system proporsional juga memiliki
kelemahan, yaitu:
1.
Mempermudah fragmentasi (pembentukan partai baru). Jika
terjadi konflik intern partai, anggota yang kecewa cenderung membentuk partai
baru, sehingga peluang untuk bersatu kurang. Bahkan ada kecenderungan partai
buka diletakkan pada landasan ideology atau asas, melainkan kepentingan untuk
memperebutkan jabatan atau kursi di parlemen.
2.
Sistem ini lebih memperbesar perbedaan yang ada
dibandingkan dengan kerja sama sehingga ada kecenderungan untuk memperbanyak
jumlah partai, seperti di Indonesia setelah reformasi 1998.
3.
Sistem ini memberikan peranan atau kekuasaan yang
sangat kuat kepada pemimpin partai, karena kepemimpinan menentukan orang-orang
yang akan dicalonkan menjadi wakil rakyat. Bahkan ada kecenderungan wakil
rakyat lebih menjaga kepentingan dewan pimpinan partainya daripada kepentingan
rakyat. Pada zaman Orba system ini dapat digunakan oleh pimpinan partai untuk
me-recall anggotanya yang vocal atau
tidak sejalan dengan haluan partai di parlemen
4.
Wakil yang dipilih renggang ikatannya dengan warga yang
telah memilihnya, karena saat pemilihan umum yang lebih menonjol adalah
partainya dan wilayah pemilihan sangat besar (sebesar provinsi). Peranan partai
lebih menonjol daripada kepribadian sang wakil. Di Indonesia banyak kritikan
pada system ini dengan sebutan seperti memilih
“kucing dalam karung”, artinya rakyat memilih tanda gambar peserta
pemilu, tetapi siapa wakil yang dipilih kurang diketahui rakyat pemilih.
5.
Karena banyaknya partai yang bersaing sulit bagi suatu
partai untuk meraih mayoritas (50% + 1) dalam parlemen.
c. Sistem Gabungan
Sistem gabungan
merupakan system yang menggabungkan system distrik dengan proporsional. Sistem
ini membagi wilayah negara dalam beberapa daerah pemilihan. Sisa suara pemilih
tidak hilang, melainkan diperhitungkan dengan jumlah kursi yang belum dibagi.
Sistem gabungan ini diterapkan di Indonesia sejak pemilu tahun 1977 dalam memilih
anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II. Sistem ini disebut juga system proporsional
berdasarkan stelsel daftar.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali
pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan
umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional. Sistem proporsional lahir untuk
menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem
pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk
dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam
lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh
kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitu pun sebaliknya.
Sistem
proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh
suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh
partai politik tersebut. Karena adanya perimbangan antara jumlah suara dengan
kursi, maka di Indonesia dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP
merefleksikan jumlah suara yang menjadi batas diperolehnya kursi di suatu
daerah pemilihan. Partai politik dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu
kandidat karena kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut. Indonesia telah menjalan beberapa demokrasi dari zaman orde
lama, orde baru hingga reformasi.akhirnya di Indonesia menggunakan system
demokrasi pancasila.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses
pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan
tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi
jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih
sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif
(tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public
relations, komunikasi massa,
lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan
umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para
kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali
pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan
umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional. Sistem proporsional lahir untuk
menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem
pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk
dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam
lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh
kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitu pun sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiayanto. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga